FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA 2014
Nama : Dwi Putra
NPM: 13514312
Kelas : 2PA06
KESEHATAN
MENTAL 10
* Cinta dan Perkawinan
A. Memilih Pasangan
Dalam memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya
memiliki hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Maka dari itu
harus benar-benar diperhitungkan ketika memilih pasangan yang baik. Bila ingin
pintar, seseorang harus rajin belajar, bila ingin kaya seseorang harus
berhemat, begitu pula tentang pasangan hidup. Bila menginginkan pasangan hidup
yang baik maka kita juga harus baik.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat dengan mudah kita peroleh tanpa
adanya pengorbanan. Segala sesuatu ada harga-nya termasuk bila ingin
mendapatkan pasangan hidup yang baik. Ya, dimulai dari diri sendiri. Bila kita
bercita-cita untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik, maka kita sendiri
harus baik. Percayalah, Tuhan telah memasangkan manusia sesuai dengan karakter
dan derajat mereka masing-masing. Manusia yang baik hanyalah untuk manusia yang
baik pula, begitu pula sebaliknya.
Julianto Simanjuntak dalam bukunya, menekankan bahwa dalam memilih pasangan
harus ada kesepadanan alias kecocokan. Karena ketika pada awal-awal
berpacaran, kita sering lupa mengenali kepribadian dan latar belakang pasangan.
Jadi, cinta itu bukan hanya sekedar mencintai atau dicintai. Tapi juga dituntut
memahami latar belakang dan kepribadian pasangan anda dengan sepenuhi hati.
B. Hubungan Dalam Perkawinan
Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga
marriage and
relationship educator and coach, mengatakan bahwa ada lima tahap
perkembangan dalam kehidupan perkawinan, yaitu :
- Tahap pertama : Romantic Love
Tahap ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang
menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan
pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis
dan penuh cinta.
- Tahap kedua : Dissapointment or Distress
Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling
menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau
lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami
hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin
hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal
lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn
tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan
lagi terhadap hubungan dengan pasangannya. Banyak pasangan di tahap ini
memilih berpisah dengan pasangannya.
- Tahap ketiga : Knowledge and Awareness
Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini
akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga
sibuk menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu
terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang
untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang
lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
- Tahap keempat: Transformation
Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku yang berkenan di
hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi
pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang
menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat
itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan
ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
- Tahap kelima: Real Love
Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan
suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain.
Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas
yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda
berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi
dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga
sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi
secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti. Bisa
jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu
berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya.
C. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu
lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus
menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat
organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan
kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing
mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap,
ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga
harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari
penyesuaianperkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling
mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua
orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru
sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian,
lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan
dan harapan.
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan
penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi
penyesuaian perkawinan
- Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan
rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di
bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan
dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil
hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam
ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan
kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu
meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi
pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer,
1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak
memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson
& Nelson, dalam Dyer, 1983).
- Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang
tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu
tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang
agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada
penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer,
1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan
Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut.
- Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana
perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang
mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik
sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983).
Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera
Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan
antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan
hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri
kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan
rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada
perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi
larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras
mereka masing-masing
- Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya
menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver
(dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya
mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian
perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa
pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan
perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada
hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan
penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).
- Keluarga Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah
bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara
setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami
mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall;
Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung
sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar.
Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam
rumah tangga.
D. Perceraian dan Pernikahan Kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang
membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua
kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin
mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya
dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama
menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil
keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya
ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah
kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya
tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat
ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer
memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan
bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung
jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga
lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan
dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen
MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia
(HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi
keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa
kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi
ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan
masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan
sebelumnya.
E. Alternatif selain Pernikahan
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan
dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia
seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan
sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk
tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single
adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama
menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak
pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu
kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan
cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir
lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih
konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan
lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur
dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang
telah menikah.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang
menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati
jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
REFERENSI
http://21juli1991.blogspot.co.id/2013/05/cinta-dan-perkawinan.html